Elegi Hemostasis
Elegi Hemostasis
Karya: ataplangitsenja, @ataplangitsenja
Jika semesta serupa bentang rona, maka hadirku adalah nabastala tanpa warna; abu dan tiada daya. Masih kutatap jelas bingkai kayu di sudut ruang, mengamati setiap gerak dalam bulir yang jatuh menciptakan teduh. Hembus udara menyapa penuh sesak, dan aku hanya didekap kosong pada keheningan yang semakin tak tertolong. Sedangkan waktu menyeretku tanpa ampun, membawaku ke tepian jurang duka semenjak kau tiada. Tanpamu ... aku hanya bayangan tak bernyawa, cerita tanpa kata, dan lukisan hilang warna.
"Maaf aku pergi, berbahagialah. Sekalipun tanpaku."
Kalimat itu masih terngiang di telinga, menjadi ranjau —menghancurkan setiap bagian tubuh seseorang yang tak sengaja menginjaknya. Hancur berkeping, namun kau sedikitpun tak bergeming. Telah kau rekas segala ujung bahagia yang kupunya. Kalimat yang sama sekali tak ingin kudengar, telah terucap dari bibirmu penuh gusar.
Hari-hari tanpamu kini menjadi monolog sunyi yang terus menggema dalam pikiranku. Dan ruang ini menjadi saksi bisu kehilangan. Meja di sudut ruang tempat kita biasa berbagi cerita, kini seperti pengemis tua yang menanti secangkir tawa serta dialog pengisi hampa. Bahkan lentera yang dahulu terang, kini redup dalam getir sebagai pertanda cintamu telah tersingkir.
"Apa yang kau ratapi?"
"Tak bisakah kau menyudahi sedihmu?"
"Biarkan dia bahagia, dan kau pun serupa."
Rentetan kata itu lancar mengalir dari bibir para penasihat dengan sangat ringan, seolah hal tersebut mudah saja dilakukan. Padahal setengah mati aku mengusahakan; mengalihkan rasa dengan rutinitas, namun bayangmu seolah masih duduk tersenyum di depan teras. Kucoba membaca buku-buku, namun sampul-sampul itu masih hangat meninggalkan jejak jemarimu. Kucoba hibur hati dengan pergi ke tempat yang kusuka, namun genggaman tanganmu masih terasa nyata.
Hatiku kini serupa kapal tanpa awak, terombang-ambing pada lautan tanpa tujuan, ataupun niat untuk hidup. Namun apalah daya, hidup akan tetap menjadi hidup, detak akan terus berpacu dengan degup. Sekalipun hati telah terkatub.
Kau adalah cerita pada pelataran bahagia, kini menjadi frasa kalimat yang aku susun sebagai prasasti kesendirian. Entah ... dengan cara apa lagi aku harus melupakan, ketika hati enggan beranjak dari rasa. Mendung ini seolah menjadi badai sehingga langit tak dapat menahan kata. Bercucuran deras menciptakan kolam-kolam derita yang sempurna.
"Cepat lupakan aku!" Katamu kala itu
"Lalu bagaimana aku bisa melupa, setelah ribuan air mata kauseka demi melihat ranum senyumku yang merona." Sahutku dengan mata terkatuk lesu, diiringi bulir jatuh di pipiku.
"Bukankan ini yang kau benci dahulu? Namun sekarang kurasa kau tak mau tau."
Linang yang semula kau hapus, kini kembali luruh. Bukan karena orang lain, melainkan kau ciptakan dengan sengaja.
Dibalik kecamuk riuh hatiku yang enggan melupakanmu, aku mulai meraba diri. Mungkin memang benar; jika bersama denganku adalah luka yang nyata, lalu mengapa aku masih terus memaksa.
Dulu kau memang cinta,
tidak dengan sekarang.
Kuseka sendiri air mata yang terjatuh, mulai mencoba menyibukkan hariku melalui buku dan pena. Mengikhlaskan semuanya dengan harapan tidak ada lagi duka yang mengantri. Ya ... inilah caraku sembuh, dan kupastikan bahwa; aku akan melupakanmu dengan indah.
"Jika hemostasis adalah proses penyembuhan
luka serta kucuran darah. Maka menulis merupakan
caraku sembuh dari hati yang patah."
Bulan demi bulan telah kulewati tanpa adanya kau. Tertumpuk sudah puisi duka, rindu, dan caruk-maruknya hati. Kukira tanpamu hidup akan terasa berat, ternyata semua terasa ringan-ringan aja, dan aku pun masih tetap bernyawa. Bahkan pintu yang dulu kukunci rapat kini mulai kubuka kembali.
Lewat aksara aku mulai menemukan sisi bahagia. Melalui aksara pula, aku bertemu banyak sekali pribadi yang menarik (bagiku). Satu per satu dari pribadi itu hadir menawarkan gelak tawa, siluet warna, bahkan senandung ceria. Untuk aku yang terbiasa dengan duka, tentu saja semua terasa berbeda, namun damai membidik tepat di jiwa. Dan aku mulai kembali bisa tertawa.
"Senyummu nampak sangat indah." Kata orang baik yang mulai menggoda.
"Tentu saja, bukan hanya senyumku, aku pun indah bukan hahaha." Sahutku seraya mengibaskan geraian rambutku dan tertawa lirih.
Semenjak kuputuskan berdamai dengan luka, aku yang dahulu pendiam kini menjadi seorang yang jauh berbeda. Tapi aku merasa hidup, dan mungkin ini aku yang sesungguhnya —yang tak kutemukan saat bersamamu. Sekarang, aku tak pernah khawatir lupa memakai topeng sempurna, elegant, atau sekedar topeng anggun. Aku bahagia dengan tingkahku sekarang; humoris, aneh, jail, serta banyak polah. Justru itu yang membuat hidupku berwarna, tidak buram serta kelabu lagi.
"Bagaimana dengan lukamu? Sudah sembuh?" Tanya orang itu lagi.
"Mungkin ... tapi tidak sepenuhnya." Sahutku ragu
"Sudah, cukup bahagiakan saja dirimu dahulu. Cepat atau lambat, kau akan sembuh dengan sendirinya." Jawabnya
"Kau benar." Balasku singkat
"Kau tau Nja, sembuh itu tanggung jawabmu bukan orang lain. Dan sebenarnya kau tidak perlu melupakan masa lalumu itu, karena tidak akan bisa. Cukup berdamailah dengan rasamu. Semua orang memiliki masa lalu, dan masing-masing juga berhak menyimpannya." Katanya seraya memainkan daun bunga hias di atas meja baca.
Aku hanya diam, bukannya tak menyimak aku hanya memikirkan semua ucapannya. Dan dia benar.
Setiap kedekatan memiliki target tak berkesudahan, seperti inginku dulu. Bersamamu adalah impian yang aku upayakan kala itu, tapi melihatmu tak memiliki ingin yang sama, sempat aku mengutuki takdir dan harapan-harapan yang raib tersapu pergimu. Namun sekarang aku mengerti; cinta memang tak bisa dipaksa. Mungkin ini cara Tuhan mengingatkanku, bahwa setiap doa yang aku langitkan dahulu adalah untuk memaksa semesta bukannya meminta. Dan sesuatu yang dipaksa tidak akan berakhir indah.
Sekarang bagaimana pun nantinya, dengan siapapun kedepannya tak akan kulakukan hal yang sama, yaitu memaksa semesta mentakdirkan kita. Tak akan lagi kusalahkan waktu, tempat, dan kamu atas perpisahan yang berakhir sendu. Sebab kesedihan ialah bahagia yang tinggal menunggu waktu. Hanya saja aku berterima kasih banyak atas pergimu yang sempat kutangisi, jika tidak —aku mungkin belum bertemu diriku yang saat ini.
Terima kasih untuk semuanya, sekarang dengan penuh kesadaran aku berkata:
"Tak apa, berbahagialah. Aku pun serupa. Tak usah khawatir, aku telah mengiklankanmu."
—Als—
Tentang penulis:
Selamat datang di kepalaku yang riuh. Perkenalkan! Nama penaku atap langit senja, mereka sering memanggilku dengan nama Atap tempat yang meneduhkan katanya. Bagiku menulis itu peluapan atas apa yang tidak bisa kuceritakan di dunia nyata. Jika mereka mengatakan karya adalah rasa, mungkin itu memang benar.
Komentar
Posting Komentar