BEJANA TAK LAGI TERISI
Tidak semua harus diceritakan; berusaha memejamkan mata walau kedua telinga tetap terjaga. Menggantungkan harap pada kata-kata yang tak tau sebab.
Sesetel kaki mulai merayap menghapus jejak di penghujung hari mengubah terang menjadi gelap kerontang, sampai aku (melebur) lepas ingatan pintu itu tercipta tanpa kunci pembuka.
Aku terjebak; memintal ijuk-ijuk menjadi sapu pembersih, mengumpulkan retakan serpih mencetaknya menyerupai kunci.
Kukira itu bukanlah nyata saat penghianatan hadir di depan mata, saat tubuh memilih diam tanpa diperintah, saat semua terjadi dan berlalu menggores nestapa.
Aku adalah ranting yang iklas ketika daun-daun terlempar jatuh melepas hubungan karena termakan cumbuan angin.
Aku adalah panas saat kemarau menjalin ikatan terlarang dengan rintiknya hujan.
Aku adalah belanga, rela terbakar legam demi menjadi bagian dari proses hidangan. Ikut andil mengambil peran saat takdir memang harus terjadi, dan dijalani.
Kamu adalah hadir yang menjadi pergi ...
Relakan. Ketika kata "henti" tak layak lagi ku-ucapkan. Biarkan bejana itu terkuras tak lagi terisi, memberi sekat memulai bernapas kembali, walau pada kenyataannya semua menggumpal menjadi kristal: sesal.
—candramawa
[ @sajakberbicara ]
Komentar
Posting Komentar